Perpetua
dan Felisitas hidup di Kartago, Afrika Utara, pada abad ketiga. Pada
masa itu terjadi penganiayaan yang hebat atas orang-orang Kristen oleh
Kaisar Septimus Severus.
Perpetua
yang berusia duapuluh dua tahun adalah puteri seorang bangsawan kaya.
Semenjak kecilnya ia selalu mendapatkan apa saja yang ia inginkan.
Tetapi ia sadar bahwa ia mengasihi Yesus dan iman Kristianinya jauh
lebih berharga dari apa pun yang dapat ditawarkan oleh dunia. Oleh
karena imannya itulah ia menjadi seorang tahanan yang siap menghadapi
hukuman mati.
Ayah
Perpetua adalah seorang kafir. Ia melakukan segala daya upaya untuk
membujuk puterinya agar mengingkari iman Kristiani. Ia berusaha
meyakinkan Perpetua akan betapa pentingnya menyelamatkan nyawa. Tetapi,
Perpetua tetap pada pendiriannya, meskipun ia tahu bahwa ia harus
meninggalkan suami serta bayinya.
Felisitas,
pelayan Perpetua yang Kristen, adalah seorang budak. Ia dan Perpetua
bersahabat. Mereka saling berbagi iman dan cinta akan Yesus. Felisitas
juga rela kehilangan nyawanya bagi Yesus dan bagi imannya. Oleh sebab
itu ia juga menjadi seorang tahanan yang siap menghadapi hukuman mati.
Felisitas
adalah seorang isteri. Ketika sedang di penjara karena imannya, ia juga
menjadi seorang ibu muda pula. Bayinya diangkat anak oleh seorang
wanita Kristen yang baik. Felisitas amat bahagia karena sekarang ia
dapat pergi sebagai martir.
Bergandengan
tangan, Perpetua dan Felisitas menghadapi kemartiran mereka dengan
gagah berani. Mereka dijadikan mangsa binatang-binatang buas dan
kemudian dipenggal kepalanya. Mereka berdua wafat sekitar tahun 202.
Marilah
pada hari ini kita berdoa bagi para ibu yang terpisah dari keluarga
serta anak-anak mereka, terutama oleh karena ketidakadilan dan
kekerasan.