St.
Patrick dilahirkan pada abad ke lima di Inggris. Orangtuanya adalah
orang Romawi. Ketika Patrick berusia enambelas tahun, ia diculik oleh
para bajak laut dan dibawa ke Irlandia. Di sana, ia dijual sebagai budak
belian. Majikannya menyuruh Patrick untuk menjaga kawanan ternaknya di
pegunungan. Patrick hanya mendapatkan sedikit makanan dan pakaian. Namun
demikian, ia memelihara kawanan ternaknya itu dengan baik, dalam hujan,
badai maupun salju. Patrick merasa amat kesepian seorang diri di
pegunungan, seringkali ia datang untuk berbicara kepada Yesus dan Bunda
Maria dalam doa. Hidup terasa berat dan tidak adil baginya. Semakin lama
semakin bertambah kuatlah kepercayaan Patrick kepada Tuhan.
Kemudian,
ketika ia berhasil melarikan diri dari Irlandia, Patrick belajar untuk
menjadi seorang imam. Ia senantiasa merasa bahwa ia harus kembali ke
Irlandia untuk membawa bangsa kafir itu kepada Kristus. Pada akhirnya,
keinginannya itu terkabul. Ia menjadi imam dan kemudian diangkat menjadi
uskup. Waktu itu, yaitu ketika St. Selestin I memangku jabatan paus,
Patrick kembali ke Irlandia. Betapa bahagianya Patrick dapat mewartakan
Kabar Gembira Allah yang benar kepada orang-orang yang dahulu
memperlakukannya sebagai budak.
Sejak
dari awal, Patrick harus mengalami banyak penderitaan. Sanak saudara
serta para temannya menghendaki agar ia berhenti mewartakan Injil
sebelum bangsa kafir Irlandia membunuhnya. Tetapi, orang kudus itu tetap
saja berkhotbah tentang Yesus. Ia berkeliling dari satu desa ke desa
yang lain. Ia jarang beristirahat dan melakukan banyak mati raga demi
orang-orang yang amat dikasihinya itu. Sebelum ia wafat, seluruh bangsa
Irlandia telah menjadi orang-orang Kristen.
Meskipun
ia berhasil dengan gemilang, St. Patrick tidak pernah merasa bangga
atau pun sombong. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai pendosa dan
menyampaikan segala puji-pujian yang diterimanya kepada Tuhan. Patrick
wafat pada tahun 461.
“Betapa
luarbiasa serta berharganya rahmat yang dikaruniakan kepadaku, yaitu
karunia untuk mengenal serta mengasihi Tuhan, walaupun harus
mengorbankan tanah air dan keluarga.”