
Benediktus
memulai perjalanannya dengan berjalan kaki. Ia pergi dari satu gereja
ke ke gereja lainnya. Ia mengenakan jubah sederhana, sebuah salib di
dada dan rosario di lehernya. Ia tidur di emperan jalan. Makanan yang
disantapnya hanyalah yang diberikan orang-orang kepadanya. Jika mereka
memberinya uang, ia akan memberikannya kepada orang-orang miskin.
“Ransel”nya hanyalah sebuah kantong. Di dalamnya ia menyimpan Kitab
Suci, juga medali-medali dan buku-buku rohani yang akan dibagikannya
kepada orang lain. Perhatian St. Benediktus sama sekali tidak tertuju
pada pemandangan indah di daerah-daerah yang ia kunjungi. Satu-satunya
yang menarik baginya adalah gereja-gereja di mana Yesus tinggal dalam
Sakramen Mahakudus.
Tahun-tahun
berlalu, St. Benediktus tampak semakin menyerupai seorang pengemis. Ia
compang-camping dan kotor. Ia makan sisa-sisa roti dan kulit kentang. Ia
tidak pernah minta sesuatu yang membuatnya merasa lebih nyaman. Di
beberapa tempat, anak-anak melemparinya dengan batu serta
mengolok-oloknya. Orang-orang yang tidak mengenalnya cenderung
menghindarinya. Tetapi, apabila St. Benediktus sudah bersujud di hadapan
tabernakel, ia demikian khusuk bagaikan patung. Wajahnya yang pucat dan
kuyu menjadi bersinar-sinar. Ia akan berbicara kepada Yesus dan Bunda
Maria. Ia berbisik, “Bunda Maria, o Bundaku!” Ia sungguh sangat bahagia
ketika bersatu dengan Yesus dan Bunda Maria.
Benediktus
wafat pada tahun 1783 dalam usia tiga puluh lima tahun. Kesucian
pengemis kudus ini segera tersebar luas. Perjalanannya telah selesai.
Ziarahnya telah berakhir dan kini ia tinggal bersama Yesus
dan Bunda Maria untuk selamanya. Seabad setelah wafatnya, St.
Benediktus Yoseph Labre dinyatakan kudus oleh Paus Leo XIII pada tahun
1883.
“Bunda Maria, o Bundaku!” Kita dapat membisikkan seruan cinta ini kepada Bunda Maria dan memikirkannya lebih sering.